Sabtu, 29 Oktober 2011

my first experience at Manubaku

4 Juli 2010, pukul 7.00 aku datang kesekolah ini untuk mengikuti tes masuk ke sekolah ini. Pertama memasuki gerbang sekolah ini yang aku kenang adalah sekolah ini sangat asri, dengan taman yang indah dan sangat artistik, membuatku berfikir hmm pasti nyaman. Halamannya pun  sangat bersih walaupun tak seluas sekolahku dulu. Aku mulai mencari ruang tesku, dan ternyata aku ruanganku ada di kelas atas paling pojok. Aku pun langsung duduk di tempatku, tapi aku sedikit khawatir saat aku bertanya dengan teman sebelahku tentang tata cara pengerjaan soal. Aku gak bawa papan, aku pun mulai cemas karena bel masuk sudah berbunyi. Namun Allah membantuku. Aku menemukan sebuah papan di laci mejaku. Aku sangat bersyukur dan mengerjakan soal dengan tenang.
Saat pengumuman lulus ujian masuk, aku diantar oleh ibu dan kakakku yang baru datang menyusulku, dan ternyata aku masuk ke asrama yang di sediakan oleh sekolah. Kami sangat bahagia dan langsung pulang ke Semarang untuk mengambil barang-barangku untuk mondok (istilah orang yang akan tinggal di pesantren). Dan sekarang aku merasakan sebuah keluarga lain yang aku dapat di tempat ini. Teman yang satu kelas dan satu hujroh(kamar) selama tiga tahun kehidupan kami di MA ini. Satu setengah tahun sudah berlalu, masa-masa sedih dan senang sudah kami lewati bersama dan kami berdoa semoga apa yang kami dapat disini dapat bermanfaat bagi diri kami dimasa depan.

Sabtu, 22 Oktober 2011

Long Last Relationship


Dea pergi ke sekolah dengan wajah kusut. Penyebabnya tak lain karena Ia tidur larut malam. Dea adalah sahabatku yang sering datang terlambat. Namun aku tahu betul penyebabnya. Dea sebenarnya seorang gadis yang rajin dan pintar. Namun kondisi  keluarganya membuat sahabatku itu sering terlambat. Bapak dan ibunya selalu pulang larut malam, dan dia harus menjaga adik bungsunya, Arya, yang masih bayi sembari belajar. Kami ada di tahun terakhir kami di SMA, dan ini adalah masa penentu kemana kami selanjutnya.
“De, mbok sekali-kali minta bantuan kakakmu buat jagain Arya. Dia kan juga nggak sibuk-sibuk amat”, cibir Lucy dengan gayanya yang khas.
 “Tapi Lus kakakku kan juga punya anak sendiri. Ntar dari pada aku kena marah, mending aku jaga Arya sendiri,” jawab Dea.
 “Tapi De, Lucy kan benar. Bentar lagi kita ujian. Kamu harus fokus.”  Namun Dea hanya tersenyum.,
“Dah deh kalian ini, kan aku yang ngejalanin. Aku nggak papa lagi”. Dea tetap bersikukuh dengan pendiriannya.Tapi walau kami sering mengomentari Dea, sebetulnya kami salut dengan semangatnya yang ingin tetap ingin bersekolah setinggi-tingginya. Terkadang kami merasa iri dengan semangatnya itu.
---000---
Tet, tet. Bel istirahat berbunyi. Bu Erna pun mengakhiri pelajaran aljabar pagi itu.
“Nggak mudeng deh tadi Bu Erna jelasin apa,” ujar Lucy dengan kesal.
 “Lus kamu nggak boleh nyerah gitu aja,”kata Dea sambil menghampiri Lucy.
 “Alah De gimana pun otakku berusaha, tetep aja nggak bisa masuk. Aku nggak mau puyeng mikirin ini,” jawab Lucy.
“Eh De besok kamu mau ambil jurusan apa? tanyaku.
”Aku belum tahu Ra. Mungkin aku nggak langsung kuliah. Aku mau kerja dulu. Ntar kalau udah ngumpul uangnya, insyaallah aku mau kuliah. Atau mungkin aku bisa kerja sambil kuliah,” jawab Dea dengan senyuman. Semakin kami mengenal Dea, makin besar rasa kagum kami padanya.
“Dah yuk ke kantin,. Lapar ni,”bujuk Lucy.
Namun tiba-tiba…
“Eh minggir-minggir, ngalangin aja sih Anak Babu ini,” kata Viola sambil mendorong Dea yang ada di depannya.
“Eh Vi, jaga dong omongan kamu! Emangnya Dea ini anak babu apa?” bentak Lucy sambil membantu Dea berdiri.
“EGP, kan emang dia itu Si Miskin. Apa salahnya aku bilang gitu,” jawab Viola dengan ketus.
“Dah Lus, nggak usah diladenin anak sombong kayak dia,” ujarku sambil menarik Dea dan Lucy pergi.
“Ih dasar cewek nyebelin. Mentang-mentang ayahnya pengusaha besar, trus dia bisa seenaknya gitu?Apaan tu, Cuma ngandalin nama orang tua aja. Buktiin dirinya dengan kemampuannya dong,” ujar Lucy dengan muka masam.
“Udah gitu panggil Dea anak babu lagi. Ih aku doain moga-moga dia yang jadi anak babu,”
“Hush, Lucy! Ngomongnya jangan sembarangan! Lagian aku nggak gimana-gimana, kamu yang sewot,”
“Tapi De, anak kayak gitu nggak bisa didiemin terus. Lama-lama makin ngelonjak,”
 Dah yang penting sekarang kita fokus ke ujian sama masalah daftar sekolah dulu aja. Nggak usah ngeributin hal nggak penting kayak gitu. Bikin nambah beban pikiran aja,”bujukku.
 Besok Minggu kita cari formulir ya,”kata Dea. Aku dan Lucy menyetujuinya.
--000—
              Hari terus berlalu. Masa-masa ujian pun datang. Kami berusaha sekeras mungkin agar bisa lulus. Namun, kami juga agak sedih karena kami akan berpisah. Saat pengumuman kelulusan hati kami berdebar-debar. Tapi akhirnya kami tersenyum karena kami lulus semua. Lebih dari itu kami juga sangat senang karena Dea mendapatkan juara umum dengan nilainya yang memuaskan. Kami sangat bangga pada teman kami yang satu ini.
              “Selamat ya De. Kami benar-benar bangga sama kamu,”
              “Ya sama-sama. Nilai kalian juga bagus.”
              “Eh anak babu! Dapat bocoran darimana kamu bisa jadi juara umum gitu. Aku nggak bakalan percaya anak babu kayak kamu bisa ngalahin aku. Kamu kan gak ada apa-apanya dari aku. Ayo ngaku, atau aku aja yang ngelaporin sama kepala sekolah,” seru Viola tiba-tiba.
              “Eh Vi, jangan sembarang ngomong ya kamu. Dea nggak mungkin kayak gitu. Ngaku aja kalau kamu itu emang nggak bisa. Dea bahkan jauh lebih baik daripada kamu,”sahut Lucy
              “Oke kita bikin perjanjian. Lima tahun lagi kita buktiin siapa yang lebih sukses.”tantang Viola. Lucy langung menyetujuinya. Namun kami kurang sepakat. Tapi Lucy bilang kita nggak usah takut kareana Allah pasti membantu hambanya.
              “De kasih kabar ya walaupun udah pisah. Aku berdoa semoga kamu bisa jadi seperti apa yang kamu cita-citakan,”kata Lucy sambil memeluk Dea.
“Amiin.... Kamu juga ya Lus, Ra. Kalian juga jangan lupakan aku. Kita udah buat janji sama Viola dan kita pasti bisa ngalahin dia. 7 Juni  lima tahun lagi kita ketemu ya dan kalian harus cerita tentang perjalanan kalian lima tahun nanti,” ujar Dea dengan senyum terakhirnya.
Nilai tertinggi seorang manusia bukanlah dimana ia berpijak pada saat –saat nyaman dan menyenangkan,tetapi di mana ia berpijak pada saat tantangan dan pertentangan.
--000—
Hari terus berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan terus berganti tahun. Tanpa terasa tiga tahun kami berpisah. Dea berhasil mewujudkan impiannya untuk kuliah tanpa meminta uang kepada kedua orang tuanya. Awalnya Dea hanya bekerja di sebuah perusahaan konveksi. Tapi dia bercerita padaku jika dia menyukai pekerjaan itu. “Seseatu yang kecil pasti bisa menjadikan sesuatu yang besar Zahra. Aku pasti bisa membuktikannya dengan usahaku.”pesannya saat aku meneleponnya setahun lalu. Namun, baberapa bulan setelah itu, tak ada kabar lagi dari Dea. Dia hanya berkata akan mencoba hal baru dan kami tidak usah khawatir karenanya. Tapi walau begitu aku dan Lucy tetap saja tak bisa begitu saja mengacuhkannya. Dea tak pernah menelepon kami lagi. Bahkan nomornya yang dulu pun tak bisa di hubungi. Tapi Lucy bilang Dea pasti tahu apa yang dia lakukan. Lalu aku berfikir apa mungkin Dea ingin memenuhi hasratnya untuk menjelajahi gunung untuk memetik bunga edelwis. Dea dari dulu memang sangat menyukai edelwis. Menurutnya edelwis adalah sumber semangatnya. Bunga itulah yang membuatnya mampu tersenyum walau hidupnya pahit. Aku dan Lucy masih memikirkan perjanjian kami dengan Viola tiga tahun lalu. Kami tidak pernah mendengar kabar Viola lagi kecuali kalau dia sekarang bersekolah di luar negeri.
“Ra aku baru aja menerima email dari Viola. Dia tiba-tiba berkata bahwa kitalah pemenang dari perjanjian dulu,” kata Lucy saat kami bertemu.
“Hah yang benar Lus? Tapi inikan baru empat setengah  tahun sejak perjanjian itu. Aku penasaran pasti ada sesuatu yang nggak biasa. Kamu tahu sendiri kayak apa Viola kan? Aku mau tahu apa yang membuat Viola mengakhiri permainan yang dibuatnya sendiri.”
Saat kami tahu ternyata Viola berlaku seperti itu karena dia tahu bahwa Dea adalah motivatornya saat ayahnya bangkrut dan tak ada lagi yang dapat menjadi kebanggaannya. Dia lalu menemukan sebuah buku dimana disana dijelaskan bagaimana agar dapat bangkit dari keterpurukannya, dan buku itu ternyata adalah karangan Dea. Ia dari dulu memang selalu menjadi seorang motivator bagi aku dan Lucy.  
--000—
            Zahra, ingat hari ini kan? Aku harap kalian bisa menemuiku siang ini. Aku ingin kalian menemui seseorang, dan aku yakin dia akan senang kalian mengunjunginya. Aku mohon kalian datang ya. Ku tunggu di terminal jam dua siang. Sampai ketemu.
                                                                                                                                                                Viola
Itu adalah isi email Viola yang dikirim tadi pagi. Aku langsung menelfon Lucy dan menyampaikannya. “Tapi bagaimana dengan Dea? Tanya Lucy.
 “Mungkin Viola juga bersama Dea. Dia dulu kan pernah bilang kalau dia bertemu Dea. Ya semoga saja,” doaku dalam hati.
“Vi, kok kita ketemu di pemakaman sih. Siapa yang meninggal? Temanmu itu?” Tanya Lucy. Viola hanya tersenyum dan mengajak kami ke sebuah makam.
Rahma Nadea binti Abdullah
Meninggal 7 Juni 2009
          Kalimat itulah yang tertera di batu nisan depan kami. Aku dan Lucy tak kuasa menahan air mata. Mutiara kecil mengalir deras dari kedua mata kami. Lalu Viola memberikan secarik kertas pada kami.
Assalamualaikum warrahmatullahiwabarakatuh
Zahra, Lucy maaf selama dua tahun ini aku tidak pernah menelfon kalian. Mungkin kalian pikir aku lupa dengan kalian. Namun percayalah selama hidupku aku tidak pernah menemukan teman sebaik kalian. Kalian masih ingat misi terbesarku kan? Kini aku telah berhasil mewujudkannya. Selama ini aku sudah menjelajahi lebih dari lima gunung di Jawa. Hebat kan? Jangan kalian pikir seorang Dea nggak berani dengan tantangan ya. Dan tebak, aku berhasil mendapatkan bunga impianku di puncak Bromo! Aku juga menulis sebuah buku tentang mtivasi untuk orang lain. Tapi bila kalian membacanya kalian pasti tak  asing dengannya, karena semua kiat motivasi di situ adalah kata bijak motivator kita dulu.
Teman, terima kasih ya kalian udah buat aku percaya dengan potensi yang aku miliki. Mungkin jika aku nggak ketemu kalian aku nggak akan jadi seperti ini. Aku yakin kita pasti bisa mengakahkan Viola, tapi sebenarnya saat itu aku hanya ingin membuat Viola sadar bahwa harta bukanlah segalanya. Sekian ya surat dariku. Aku harap kalian juga bisa mencapai cita-cita kalian.
Rahma Nadea
NB: Surat ini kutulis saat aku akan naik Gunung Semeru. Aku juga memetik edelwis untuk kalian. Jangan lupa balas suratku ya! Dan ingat tanggal 7 Juni satu tahun lagi.
Itu adalah isi surat terakhir Dea. Viola mengatakan Dea menghisap gas belerang berbahaya di puncak Semeru satu tahun lalu. Viola juga minta maaf jika dia tidak memberitahu kami saat Dea meninggal, tapi itu adalah permintaan terakhir Dea. Dea ingin kita tetap dengan perjanjian kita lima tahun lalu. Tapi Dea ingin saat pertemuan nanti, kami bukan lagi sebagai musuh melainkan sebagai sahabat.
“De, kami datang sekarang. Kamu lihat kan Viola bukan lagi musuh kami, tapi dia sudah menjadi sahabat kami. Kami janji De, kami nggak akan musuhan lagi, dan kami pasti akan meneruskan impianmu untuk tetap memberi motivasi pada orang lain. Kamu nggak usah khawatir ya De,” ujarku sambil menahan air mata yang siap meluncur dari kelopak mataku.
Angin berhembus tenang di sekitar kami. Seakan-akan menggambarkan ketenangan Dea di alamnya. Kami pun beranjak dari pusara Dea sambil membawa janji yang kami ikrarkan di hadapan Dea.